Opini ini ditulis Oleh : Miftahul Jannah
Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam pembangunan suatu bangsa. Tapi kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia masih sering menghadapi berbagai persoalan, mulai dari kualitas guru yang tidak merata, kurikulum yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan zaman, hingga akses pendidikan yang masih belum adil, khususnya di daerah tertinggal.
Karena itulah, kebijakan pendidikan perlu dirumuskan dengan cermat dan berdasarkan pada kondisi nyata di lapangan. Proses perumusan ini dikenal sebagai formulasi kebijakan pendidikan, dan di dalamnya terdapat berbagai komponen penting yang saling berkaitan.
Kebijakan pendidikan tidak lahir begitu saja. Di baliknya ada proses panjang yang melibatkan berbagai pihak, data, dan pertimbangan yang kompleks. Sebagai mahasiswa yang mengamati dinamika pendidikan Indonesia, saya sering bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya sebuah kebijakan pendidikan dirumuskan? Mengapa ada kebijakan yang berhasil, tapi ada juga yang malah bikin kacau?
Formulasi kebijakan pendidikan merupakan proses menyusun atau merancang kebijakan yang berkaitan dengan sistem pendidikan, mulai dari identifikasi masalah hingga penentuan solusi yang paling tepat. Dalam proses ini, ada banyak pihak yang seharusnya dilibatkan, seperti pemerintah, akademisi, praktisi pendidikan, masyarakat, dan bahkan peserta didik sendiri.
Tahapan ini adalah langkah awal dan sangat penting. Kita harus bisa mengidentifikasi masalah yang nyata dan mendasar. Misalnya, berdasarkan data dari BPS tahun 2023, masih ada sekitar 6,25% anak usia sekolah dasar hingga menengah yang tidak bersekolah, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam akses pendidikan.
Setelah mengetahui masalahnya, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data yang relevan. Data ini bisa berupa hasil survei, laporan evaluasi pendidikan, atau masukan dari masyarakat. Misalnya, laporan Kemendikbudristek tahun 2024 menunjukkan bahwa banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan guru mata pelajaran inti seperti Matematika dan Bahasa Indonesia.Dalam tahapan ini, berbagai solusi dirumuskan. Misalnya, untuk mengatasi kekurangan guru, pemerintah bisa merancang program insentif untuk guru yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, atau mengembangkan sistem pembelajaran daring yang lebih merata dan bisa diakses hingga ke pelosok.
Setiap solusi tentu punya kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, penting dilakukan analisis terhadap dampak dari setiap alternatif kebijakan. Apakah solusi itu benar-benar bisa diterapkan? Apakah biayanya masuk akal? Bagaimana efeknya bagi siswa dan guru?ini yang sering terlewat. Padahal, guru, kepala sekolah, orang tua, bahkan siswa, harus diajak bicara dalam proses penyusunan kebijakan.
Tanpa melibatkan mereka, kebijakan yang dibuat bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Seperti kata pepatah, jangan membuat kebijakan tentang petani tanpa mendengar petani.Setelah semua alternatif dianalisis, kebijakan yang dianggap paling efektif dan sesuai dengan kondisi akan dipilih. Kebijakan ini nantinya akan dibawa ke tahap berikutnya, yaitu implementasi dan evaluasi.
Karena banyak masalah dalam dunia pendidikan yang muncul akibat dari proses formulasi yang kurang matang. Misalnya, perubahan kurikulum yang terlalu cepat tanpa kesiapan guru, atau kebijakan zonasi sekolah yang tujuannya baik tapi implementasinya membingungkan masyarakat. Dengan memahami komponen-komponen formulasi kebijakan ini, kita sebagai mahasiswa atau calon pendidik bisa lebih kritis terhadap kebijakan yang ada, sekaligus memberi kontribusi dalam memperbaikinya.(***)
* Penulis ialah :
Nama : Miftahul Jannah
Pendidikan: Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin (UIN) STS Jambi
Prodi : Manajemen Pendidikan Islam