Sinopsis “Best Wishes to All”: Film Horor Jepang yang Bikin Otak Ngelag dan Pikiran Kena Mental

Sinopsis "Best Wishes to All": Film Horor Jepang
Sinopsis "Best Wishes to All": Film Horor Jepang. Foto: AI/Lajuberita.id

FILM, Lajuberita.id – Halo, Bro dan Sis! Siapa di sini yang suka film horor Jepang yang beda dari yang lain? Bukan cuma hantu rambut panjang atau arwah penasaran, tapi yang beneran bikin otak kita mikir dan pulang-pulang malah kena mental? Kalau iya, ada satu film yang wajib banget masuk watchlist kalian: Best Wishes to All. Ini adalah film debut sutradara Yûta Shimotsu yang langsung mencuri perhatian, apalagi karena diproduseri oleh bapak veteran J-Horror legendaris, Takashi Shimizu, yang terkenal lewat karya-karyanya seperti Ju-on dan The Grudge.

Film ini pertama kali muncul di festival bergengsi seperti JAPAN CUTS pada tahun 2023 dan The Overlook Film Festival pada 2025, sebelum akhirnya dirilis secara global di platform Shudder. Jadi, jangan bingung kalau nemu informasi soal tahun rilis 2024 atau 2025.4 Intinya, film ini sudah diputar di berbagai festival, dan akhirnya bisa dinikmati lebih luas. Siap-siap, karena film ini bukan cuma sekadar horor biasa, tapi sebuah fresh take yang bakal bikin kita mempertanyakan banyak hal.

Plot Twist Awal: Awalnya Kayak The Visit, Eh Ternyata…

Premis film ini awalnya terlihat super simpel dan familiar, kayak film horor The Visit versi Jepang.8 Ceritanya dimulai dengan seorang mahasiswi keperawatan yang namanya nggak pernah disebut , yang pulang ke rumah kakek-neneknya di pedesaan Jepang yang sepi. Awalnya, dia pikir kunjungannya ini bakal jadi momen yang hangat dan normal, tapi ternyata, ada sesuatu yang aneh. Sejak awal, film ini sudah membangun ketegangan dengan teknik
slow burn yang bikin bulu kuduk merinding pelan-pelan.1
Ada banyak keanehan yang mulai muncul. Kakek-neneknya yang biasanya ceria, tiba-tiba tingkah lakunya jadi
strange banget, sampai ada yang bilang mereka oinking like pigs at the dinner table.

Terus, ada satu pintu terkunci di lantai atas yang bikin penasaran dan seolah-olah menyimpan rahasia gelap.1 Dia juga sering mendengar suara-suara aneh, tapi kakek-neneknya selalu menyangkal bahwa mereka mendengar apa pun, seolah-olah itu hal yang wajar.

Film ini nggak main-main. Di babak pertama, kita langsung disuguhi sebuah twist yang sangat mengejutkan.9
The truth finally emerges, dan seketika itu juga, semua ilusi tentang rumah dan keluarga yang aman hancur lebur.7 Sang protagonis dipaksa untuk question her choices, sanity and reality itself, karena apa yang dia temukan itu bukan hanya sekadar rahasia keluarga, tapi sebuah kenyataan yang disturbing dan chilling.

Bukan Horor Jumpscare: Suara Ngelik Jari & Smile Paling Creepy

Kalau kalian berharap bakal dikagetin dengan musik horor yang tiba-tiba keras (scratchy violins) atau jumpscare yang murahan, film ini bukan untuk kalian.

Best Wishes to All mengandalkan horor yang jauh lebih dalam, yaitu horor uncanny dan emotional dissonance. Ketakutan utamanya justru datang dari reaksi para karakter yang eerily indifferent atau terlalu santai dalam menghadapi hal-hal mengerikan. Mereka bisa tersenyum lebar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa setelah ada orang yang meninggal di depan mata mereka.

Kehilangan reaksi yang normal ini adalah sumber kengerian yang sesungguhnya. Itu membuat penonton dan protagonis jadi kehilangan pegangan pada kenyataan, seolah dunia yang mereka kenal sudah berubah menjadi sesuatu yang benar-benar aneh dan asing.

Sikap santai yang matter-of-fact dalam menghadapi kekejaman ini adalah inti dari pesan film. Ini adalah visualisasi nyata dari sebuah sickness yang sudah mengakar dan diwariskan dari generasi ke generasi, di mana kengerian dan kekejaman sudah dianggap sebagai bagian dari hal yang normal. Film ini secara jenius menggambarkan bagaimana sebuah masyarakat bisa berfungsi layaknya adegan makan malam di The Texas Chainsaw Massacre yang berkolaborasi dengan cerita pendek legendaris The Ones Who Walk Away from Omelas.

Beyond the Scare: Bahagia, Trauma Turunan, & Masalah Jepang

Bagian ini adalah esensi dari film Best Wishes to All yang membuatnya begitu deep dan bikin kena mental. Film ini mengangkat tema yang sangat berat dan filosofis, yang mungkin tidak langsung tertangkap dalam sekali tonton. Film ini membawa konsep
The Ones Who Walk Away from Omelas ke dalam skala keluarga.Buat yang belum tahu, cerita Omelas karya Ursula K. Le Guin itu tentang sebuah kota utopis yang kebahagiaan dan kemakmurannya bergantung pada penderitaan satu orang anak yang dikurung dan disiksa.

Film ini menempatkan ide yang sama di dalam rumah kakek-nenek, di mana kebahagiaan mereka (dan mungkin seluruh desa) dibangun di atas penderitaan a sack of flesh and organs.6 Ini adalah jawaban dari pertanyaan provokatif yang diajukan film: berapa harga sebuah kebahagiaan?.

Best Wishes to All menyajikan konsep bahwa kebahagiaan itu adalah a zero-sum game 1, di mana kebahagiaan seseorang hanya bisa ada dengan mengorbankan penderitaan orang lain.

Lebih dari sekadar alegori, film ini juga menjadi kritik sosial yang sangat tajam terhadap masalah-masalah nyata di Jepang.7 Film ini merefleksikan krisis rural depopulation di mana desa-desa ditinggalkan oleh generasi muda yang pindah ke kota, meninggalkan para lansia untuk bertahan hidup sendirian.

Horor dalam film ini adalah visualisasi dari inherited pain and unspoken family secrets yang secara tidak langsung adalah beban yang harus ditanggung generasi muda dari generasi tua.7 Protagonis yang reluctantly returning to the rural Anytown adalah cerminan dari generasi muda yang harus berhadapan dengan the cycle of cruel indifference yang diciptakan oleh orang-orang yang mereka cintai.

Film ini menyajikan gagasan bahwa the ideals of youth (seperti ingin menyelamatkan orang lain atau melawan ketidakadilan) seringkali dianggap youthful naivete oleh generasi yang lebih tua.9 Sang protagonis menyadari bahwa dia adalah bagian dari sebuah sistem yang tidak bisa dia tinggalkan jika dia ingin
carry on living.

Kritik & Respon: Film Deep atau Cuma Pura-pura Dalam?

Sama seperti film horor alegoris lainnya, Best Wishes to All berhasil memecah belah penonton dan kritikus.4 Di satu sisi, banyak yang memuji film ini habis-habisan. Akting Kotone Furukawa sebagai sang protagonis dianggap stellar dan berhasil menjadi jangkar emosional film ini.

Dia dengan brilian menggambarkan perjuangan seseorang yang
trying to stay rational in an increasingly irrational space, dan penonton bisa merasakan kengeriannya yang tak terlukiskan.7 Film ini juga dipuji karena pendekatannya yang original, unsettling, dan sinematografi yang apik.

Namun, di sisi lain, ada juga yang merasa film ini tried too hard to be deep dan akhirnya gagal.1 Beberapa penonton merasa terlalu banyak yang dibiarkan menggantung, dan mereka wish the RULES of the world were explicitly given agar alurnya lebih masuk akal.4 Ada juga yang mengkritik protagonisnya yang dianggap incompetent dan beberapa adegan di babak akhir yang rushed dan membuat penonton bingung.

Perbedaan pendapat ini sebenarnya bukan cuma soal selera, tapi juga soal ekspektasi.1 Film ini memang sengaja tidak memberikan semua jawaban dan tidak mengikuti alur horor yang logis.

Tujuannya adalah untuk membuat penonton merasa unmoored dari realitas, sama seperti yang dirasakan protagonisnya.12 Film ini menolak to cleanly lay out rules for a coherent mythology, karena horornya terletak pada ketidakjelasan dan perasaan tidak berdaya.

Fakta bahwa film ini awalnya adalah film pendek mungkin bisa menjelaskan mengapa allegory comes into focus, it doesn’t have anywhere left to go dan akhirnya babak finalnya terasa kurang powerful ketika diregangkan menjadi film panjang.

Kesimpulan: Jadi, Worth It Nggak, Sih?

Best Wishes to All adalah film horor yang unik dan berani.4 Ini adalah a truly refreshing take on the family trauma trope yang tidak mengandalkan jump scare murahan, melainkan atmosfer yang mencekam dan horor yang sangat filosofis.Film ini berhasil memvisualisasikan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi menjadi sesuatu yang mengerikan secara harfiah.

Jadi, siapa yang worth it buat nonton film ini? Kalau kalian adalah penggemar horor psikologis, yang suka film mind-bending kayak Hereditary atau The Babadook, dan mau diajak mikir tentang deep stuff, film ini cocok banget buat kalian. Tapi, kalau kalian cuma mencari horor konvensional dengan plot yang jelas dan banyak adegan berdarah, mungkin kalian akan merasa frustrasi.

Pada akhirnya, Best Wishes to All adalah film yang akan membuat unsettling thought linger long after the film’s gruesome imagery has faded. Film ini memaksa kita untuk duduk dan merenungkan jawaban dari pertanyaan utamanya, long after we’ve left the theater. Ini adalah pengalaman yang exhausting secara emosional, tapi surprisingly satisfying bagi mereka yang mau navigating the uncertainty. (ndy)

Pos terkait