Opini ini ditulis oleh : Halimatus Sa’diah *
Pemerintah Indonesia sudah lama telah menetapkan kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun. Artinya, setiap anak Indonesia berhak dan diwajibkan menyelesaikan pendidikan dasar (SD dan SMP) hingga menengah atas (SMA/SMK). Namun, kenyataannya, hingga hari ini, masih banyak anak-anak bangsa yang justru tidak mampu menuntaskan pendidikannya.
Kita patut bertanya: Mengapa bisa begitu? Bukankah pendidikan sudah diwajibkan? Bukankah banyak program pemerintah yang mendukung, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Meski pendidikan disekolah negeri sekarang digratiskan atau tidak dipungut uang SPP, tapi kenyataannya masih banyak orang tua yang merasa terbebani oleh ekonomi.
Biaya transportasi, seragam, buku, uang saku,dan kebutuhan harian lainnya sehingga sering kali menjadi kendala, terutama bagi keluarga kurang mampu di wilayah terpencil.
Menurut dewi dkk dalam Maghfirah (2019), ada beberapa faktor yang mendorong seorang anak putus sekolah, seperti kondisi ekonomi,perhatian orang tua, fasilitas pembelajaran, minat anak untuk sekolah,budaya,dan lokasi sekolah. Ketidakmampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anak membuat mereka haus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga sekolahnya terabaikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka putus sekolah di tahun ajaran 2023/2024 tercatat mengalami peningkatan di seluruh jenjang dibanding tahun ajaran sebelumnya, kecuali ditingkatan SMA. Pada tahun ajaran 2022/2023, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 0,17%. Nilainya kemudian naik di tahun ajaran ini menjadi 0,19%.
Adapun untuk jenjang SMP, angka putus sekolah mencapai 0,18% di tahun ajaran 2023/2024, naik dari 0,14% di tahun sebelumnya. Penurunan angka putus sekolah terjadi di jenjang SMA, dari 0,20% di tahun ajaran 2022/2023 menjadi 0.19% di tahun ajaran berikutnya. Di tingkatan SMK kembali terjadi peningkatan angka putus sekolah dari 0,23% menjadi 0,28%
Artinya pendidikan memang gratis, tetapi tidak sepenuhnya bebas biaya hidup yang terkait dengan sekolah. Tidak semua anak mempunya kemewahan tinggal dekat dengan sekolah yang layak. Di beberapa wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), sekolah bisa berjarak belasan bahkan pulahan kilometer. Beberapa dari mereka juga harus menyebrangi sungai, Tidak jarang anak harus harus menempuh perjalanan selama satu hingga dua jam hanya untuk mencapai sekolah. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat bahwa ribuan sekolah di Indonesia masih masih mengalami kekurangan guru, fasilitas belajar yang rusak, dan belum terhubung oleh internet. Situasi tersebut membuat anak-anak kehilangan semangat untuk belajar.
Di beberapa daerah masih ada pandangan bahwa sekolah bukan hal utama, apalagi untuk anak perempuan. Banyak anak dinikahkan muda atau dipaksa bekerja karena dianggap lebih berguna untuk membantu perekonomian keluarga. Bahkan ada juga anak perempuan yang putus sekolah karena hamil diluar nikah, ada pula anak laki-laki dianggap lebih baik langsung bekerja dari pada “buang waktu” sekolah tanpa jaminan pekerjaan di masa depan. Tidak jarang anak-anak yang sudah sempat sekolah terpaksa keluar karena tekanan lingkungan, pergaulan bebas, atau terjebak dunia kerja di usia dini.
Unicef Indonesia dalam laporannya tahun 2022 menyebutkan bahwa ada sekitar 4,3 juta anak usia sekolah di Indonesia yang tidak bersekolah. Bahkan sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin atau kurang mampu dan tinggal di daerah terpencil. Kita tidak bisa menutup mata bahwa pemerintah telah menghadirkan program bantuan seperti kartu Indonesia pintar (KIP) misalnya, sudah menjangkau jutaan anak dari keluarga kurang mampu. Juga terus dijalankannya program tersebut. Tapi dalam pelaksanaanya masih banyak penerimaan yang salah sasaran.
Banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru terlewat karena data kependudukan yang tidak akurat, atau karena orang tua yang tidak tahu cara mengakses program tersebut. Masalah lainnya adalah kurangnya koordinasi antara sekolah, dinas pendidikan, dan lembaga sosial di daerah dalam mengawasi anak-anak yang rentan putus sekolah. Padahal program tersebut sangat di butuhkan anak-anak yang berada di garis kemiskinan. Pendidikan adalah hak semua anak.
Tapi kalau masih banyak anak yang tidak bersekolah, berarti masih ada yang salah dalam sistem dan pelaksanaanya. Wajib belajar tidak boleh berhenti pada aturan saja, tetapi harus ada aksi nyata untuk menghilangkan hambata-hambatan yang selama ini membuat anak anak putus sekolah. Jika pendidikan dianggap penting bagi Negara, maka tidak boleh ada anak yang kehilangan masa depannya hanya karena miskin atau tinggal jauh dari kota.(***)
* Penulis ialah :
Nama: Halimatus Sa’diah
Pendidikan : Universitas Islam negeri Sulthan Thaha Saifuddin (UIN STS) Jambi
Prodi : Manajemen pendidikan islam